Pendeta yang Memilih Diam

Table of Contents

 Pendeta yang Memilih Diam

Kadang-kadang, orang yang paling banyak tahu justru memilih paling sedikit berbicara. Bukan karena ia tidak peduli, bukan pula karena ia tidak tahu. Tetapi karena ia mencintai lebih dalam dari yang bisa dilihat orang. Ia paham, satu kata bisa jadi pedang bagi mereka yang belum siap. Ia sadar, kebenaran kadang terasa tajam bagi hati yang mudah tersinggung.

Pendeta itu memilih diam bukan karena lemah, tetapi karena ia sedang menjaga. Ia bukan sedang menyerah, melainkan sedang menunggu waktu yang tepat. Ia tahu, tidak semua tanah siap menerima benih pada musim yang sama. Ia tahu, suara yang dipaksakan bisa menutup telinga yang belum siap mendengar.

Tetapi diam juga bukan jalan yang selamanya. Suatu saat, kasih yang sejati harus bersuara—bukan untuk menyerang, tapi untuk menuntun. Bukan untuk menyudutkan, tapi untuk menyelamatkan.

Jika engkau seorang pendeta seperti itu—yang hatinya penuh, tetapi mulutnya bungkam—ingatlah: Tuhan pun kadang berbicara lewat keheningan. Tapi ketika waktunya tiba, Dia pun berseru lewat nabi-nabi-Nya. Jangan takut berbeda pandangan. Jangan takut dibenci karena kebenaran. Yesus pun dibenci karena Ia mengatakan yang benar.

Dan untuk jemaat yang mudah tersinggung: apakah kamu lebih mencintai kenyamanan daripada pertumbuhan? Apakah kamu hanya ingin pemimpin yang menyenangkan telinga, atau yang membawa kamu lebih dekat pada Tuhan meski kadang terasa perih?

Refleksi ini bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengingatkan kita semua. Bahwa kasih sejati tidak hanya diam, tapi juga rela menyuarakan kebenaran. Dan kebenaran, walau tidak selalu disukai, adalah jalan menuju hidup yang berkenan bagi Tuhan.

Jika kamu tahu yang benar, jangan takut berdiri di dalamnya. Dan jika kamu mendengar kebenaran, jangan buru-buru tersinggung. Karena mungkin, Tuhan sedang bicara lewat orang yang kamu anggap biasa.

Posting Komentar