"Diam yang Menjerit: Sebuah Renungan Hati Seorang Hamba Tuhan"
"Diam yang Menjerit: Sebuah Renungan Hati Seorang Hamba Tuhan"
Di balik senyum dan doa yang ia panjatkan setiap hari, tersembunyi sebuah pergumulan yang tak bisa disampaikan dengan kata. Ia bukan sedang kecewa pada jumlah, melainkan pada kejelasan. Ia bukan haus akan uang, tetapi rindu akan keadilan dan penghargaan atas pelayanannya.
Ketika kenaikan gaji berkala itu disetujui, hatinya bersyukur. Ia merasa diperhatikan, dimaknai, dihargai. Namun ketika rapel yang menjadi haknya tidak disampaikan tanpa satu kata penjelasan pun, ia merasa seperti bayangan di tengah ruangan—ada, tetapi tak dianggap. Ia memilih diam. Bukan karena tak tahu bersuara, melainkan karena takut suaranya disalahpahami. Ia takut dituduh duniawi, padahal yang ia rindukan adalah kebenaran yang sederhana: transparansi dan kejujuran.
Di ruang doa, ia menangis. Bukan karena jumlah uang yang tertahan, melainkan karena beban hati yang menggantung tanpa kepastian. Ia menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Tetapi ingatan itu tetap menghampiri. Perihnya bukan soal materi, tetapi soal perasaan yang diabaikan.
Namun di tengah tekanan itu, Tuhan berbicara dalam sunyi:
"Aku melihat, anak-Ku. Aku tahu apa yang tidak dijelaskan kepadamu. Aku adil, bahkan ketika manusia tidak adil. Ketika engkau memilih diam demi damai, Aku menghitungnya sebagai pujian di tengah luka. Ketika engkau menahan luka agar jemaat tidak tersandung, engkau sedang mencerminkan kasih-Ku yang panjang sabar."
Maka pendeta itu kembali menegakkan kepala. Bukan karena ia sudah tidak sakit, tetapi karena ia tahu siapa yang menopangnya. Ia kembali melayani bukan dengan hati kosong, tapi dengan hati yang dipenuhi kekuatan dari Tuhan. Ia belajar bahwa diamnya bukan kelemahan, tapi bentuk kedewasaan rohani. Ia tahu, Tuhan tidak pernah lupa, dan segala sesuatu akan Tuhan pulihkan pada waktunya.
Posting Komentar