HAKIKAT PERNIKAHAN KRISTEN[1]
Pertemuan
I (Pertama)
HAKIKAT PERNIKAHAN KRISTEN[1]
Fondasi sebuah rumah
atau bangunan merupakan hal yang sangat
penting. Semegah apa pun jika tidak kokoh dan dibuat asal-asalan, kemungkinan
besar akan mudah dan cepat runtuh. Karena itu, para arsitek atau pekerja
bangunan akan memberi perhatian pada struktur fondasi untuk membangun sebuah
rumah atau gedung yang kuat dan kokoh. Para pekerja bangunan harus menggali
sedalam mungkin dan menancapkan tiang pancang. Mereka harus memperhitungkan
dengan benar setiap jenis bahan yang digunakan.
Fondasi yang tidak
kuat dapat berakibat fatal. Bisa saja cepat roboh saat diterpa angin kencang
atau badai. Semewah apapun sebuah rumah jika mengabaikan fondasi yang kuat,
suatu waktu bisa ambruk. Demikian pun dengan rumah tangga. Relasi yang panjang,
keuangan yang banyak, pesta pernikahan yang mewah, semuanya tidak akan berarti
jika mengabaikan dasar pernikahan. Rumah tangga akan mudah hancur jika
menyepelekan pondasinya. Tidak akan kuat menghadapi badai dalam rumah tangga.
Pada akhirnya bisa
berakibat penyesalan panjang. Bahkan bisa berakibat fatal, misalnya kandas di
tengah jalan. Karena itu, sebelum dan sesudah melangkah dalam pernikahan
haruslah memiliki dasar yang kuat. Ada banyak hal yang dapat dijadikan dasar
untuk persiapan memasuki pernikahan dan menjalaninnya.
A. Dasar
Pernikahan
Pernikahan merupakan
sebuah lembaga yang ditetapkan Tuhan bagi semua orang, termasuk untuk orang
Kristen. Tuhan merancang lembaga pernikahan
sejak manusia berada di taman Eden. Saat itu manusia belum jatuh ke
dalam dosa (Kejadian 2:18-4). Hal ini kemudian ditegaskan dalam Perjanjian Baru melalui ucapan Yesus dalam Injil Matius
19:4-5 yang mengatakan: “Jawab Yesus: tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang
menciptakan manusia sejak semula
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: sebab itu
laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya,
sehingga keduanya menjadi satu daging.” Ucapan Yesus ini meneguhkan
bahwa inisiatif membentuk lembaga pernikahan berasal dari Tuhan sendiri. Karena
itu pernikahan adalah karunia atau pemberian Tuhan. Tuhanlah yang
merancang ide awal lembaga tersebut. Dengan demikian pernikahan dipandang
sebagai suatu yang sakral dan suci. Sebagai sesuatu yang sakral,
pernikahan yang Tuhan ciptakan bersifat monogami. Monogami
artinya satu untuk satu, satu suami dengan satu istri. Beristri atau bersuami
satu, bukan berarti di luar rumah boleh memiliki simpanan yang dikenal dengan
sebutan WIL (Wanita Idaman Lain) atau PIL (Pria Idaman Lain).
Pernikahan Kristen menolak poligami dan poliandri. Poligami artinya satu laki laki menikahi beberani perempuan. Sedangkan poliandri berarti satu perempuan menikahi beberapa laki-laki. Kesucian pernikahan sangat dijunjung tinggi dalam pernikahan Kristen. Hal ini digambarkan dalam Kitab Hosea. Hosea memandang kesetiaan Yahwe kepada umat sebagai dasar yang teguh bagi kesetiaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pernikahan Kristen mengandung makna kesetiaan, yang harus dilandasi dengan tekad, upaya keras, dan dengan sekuat tenaga agar tidak terpisahkan. Hanya maut saja yang dapat menceraikan.
Mengenai perceraian sikap Yesus sangat jelas menolak perceraian. Dalam Injil Matius 19:6, Yesus bahkan menegaskan: “Karena itu apa yang dipersatukan oleh Allah tidak dapat diceraikan oleh manusia.” Jelas perkataan Yesus ini menunjukkan bahwa pernikahan bukanlah semacam kontrak antar manusia. Sebuah kontrak mengenal batas waktu. Pada saat tertentu dapat dibatalkan atas persetujuan bersama atau dipaksakan secara sepihak. Sebuah kontrak suatu saat bisa bubar. Pernikahan tidak demikian. Jika menikah dianggap sebagai sekadar kontrak, maka berbagai kemungkinan akan muncul. Paling fatal adalah perceraian.Pernikahan merupakan pertemuan dua hati atau persekutuan dua hati. Dua pribadi yang tadinya berbeda, melalui pernikahan dipersatukan. Karena itu berbagai upaya harus dilakukan agar terdapat saling pengertian bukan saja sebelum menikah, namun juga setelah menikah. Diperlukan waktu dan pengorbanan untuk saling memahami, memaafkan dan mengampuni. Oleh karena lembaga pernikahan dibentuk oleh Tuhan maka setiap pernikahan Kristen harus tertuju kepada Tuhan dan berakar pada Firman Tuhan. Mazmur 127:1 menegaskan: “Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya” Karena itu, sangatlah penting untuk selalu menghadirkan Tuhan dalam keluarga melalui doa, ucapan syukur, dan ibadah. Hal ini harus dilakukan dalam pernikahan agar kasih setiap pasangan terus dipelihara dan tumbuh dengan baik. Setiap pernikahan hendaknya mengingat Tuhan dan datang kepada Tuhan bukan saja saat mengalami kesulitan, namun harus dilakukan setiap saat. Hal ini merupakan pondasi yang utama untuk membangun rumah tangga agar berdiri kokoh dan kuat. Hanya Tuhan, dan tidak boleh ada yang lain yang mengepalai sebuah rumah tangga. Istri harus tunduk kepada Tuhan. Suami juga harus tunduk kepada Tuhan. Anak-anak harus tunduk kepada Tuhan. Kalau mau memutuskan apa-apa dalam keluarga harus bertanya kepada Bos dalam keluarga yaitu Tuhan. Rumah tangga yang bahagia dapat tercipta jika menempatkan Tuhan sebagai Kepala dalam rumah tangga.
B. Tujuan
Pernikahan
Ada sekian banyak tujuan pernikahan. Namun ada dua tujuan utama yang patut menjadi perhatian. Dua tujuan tersebut adalah hidup bersama yang saling melengkapi dan bertumbuh bersama. Dua tujuan tersebut akan dijelaskan berikut ini.
1. Hidup Bersama
yang Saling Melengkapi.
Tujuan pernikahan
adalah kehidupan bersama yang saling melengkapi. Tidak ada manusia yang
sempurna, oleh sebab itu tidak ada satupun pernikahan yang sempurna, artinya
tidak akan pernah kita menemukan pasangan hidup yang sempurna. Justru dalam
ketidaksempurnaan pasangan hidup, kita saling melengkapi.Seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang mau menikah memiliki kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Mereka mau menikah karena ingin menjalani hidup secara bersama
dan bukan secara terpisah, dengan membawa kelebihan maupun kekurangan
masing-masing. Mereka mau menjalani kehidupan bersama itu karena mereka saling
membutuhkan. Kitab Kejadian menunjukkan bahwa motivasi Allah menciptakan
lembaga pernikahan karena Allah melihat bahwa tidak baik, kalau manusia itu
seorang diri saja.” Karena itu Allah menciptakan penolong yang sepadan (Kejadian
2:18). Karena itu tujuan
menikah adalah untuk saling melengkapi kekurangan. Kehidupan pernikahan adalah kehidupan bersama yang saling menolong dan menopang dalam situasi sulit maupun bahagia. Bukan sebaliknya, saling menuntut pasangan menjadi seperti yang kita inginkan. Kata penolong yang dimaksudkan di sini bersifat sepadan. Hal ini hendak mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra yang sepantar, tidak lebih tinggi, dan tidak lebih rendah. Kejadian 2:21 menceritakan bahwa Tuhan membuat perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Tuhan mengambil dari tulang sisi, bukan tulang kepala agar jangan menjadi penguasa. Tuhan tidak mengambil dari tulang kaki, agar tidak diinjak-injak. Hal ini hendak menegaskan bahwa dalam kehidupan bersama untuk saling melengkapi dalam pernikahan harus disadari bahwa perempuan bukan atasan, tetapi bukan pula bawahan, melainkan mitra yang sejajar dengan laki laki. Menjadi mitra bukan perkara gampang. Dibutuhkan kematangan dalam berbagai aspek kehidupan. Dibutuhkan kerendahan hati untuk saling menghargai, saling menghormati dan saling mengakui. Agar tujuan ini dapat terwujud, setiap pasangan perlu membangun sebuah relasi atau persahabatan yang baik. Hal lain yang dapat dilakukan adalah membangun kesejahteraan bersama. Pengalaman menunjukkan bahwa hampir semua orang mau menikah karena mencintai pasangannya dan mau mewujudkan apa yang dicita-citakan atau diimpikan. Ada rasa cinta yang besar, kerinduan untuk selalu bertemu dan memberikan yang paling baik bagi pasangannya. Rasa cinta dalam diri setiap pasangan perlu terus ditumbuhkan dan dipelihara jangan sampai padam ketika sudah menikah. Setiap pasangan penting mengembangkan sikap menerima dan menghargai agar dapat terus membahagiakan pasangannya. Merawat kesejahteraan bersama dapat dilakukan dengan menata perilaku yang baik serta menghindari tindak kekerasan. Berusaha untuk selalu menata tutur kata, menghindari kata-kata kotor atau makian, belajar memberi pujian atau penghargaan kepada pasangan. Merawat kesejahteraan bersama sangatlah penting agar rumah tangga terhindar dari keretakan. Penyesalan di belakang tidak ada gunanya. Karena itu upaya merawat kesejahteraan pasangan adalah upaya menyelamatkan pernikahan sejak awal.
2. Bertumbuh
Bersama
Tujuan lain dari pernikahan adalah bertumbuh bersama. Dua manusia yang mau dan bersedia mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan haruslah bertumbuh bersama. Bukan hanya dalam hal iman tetapi dalam seluruh aspek kehidupan. Tidak sedikit pasangan yang ingin menikah namun membatasi tujuan pernikahan hanya sebatas untuk mendapatkan kebahagiaan atau mendapatkan keturunan. Ketika harapan itu tidak mereka dapatkan, mereka menyesal, akhirnya ingin berpisah. Bahkan ada pasangan yang jadi berpisah karena sejak awal mereka memahami tujuan pernikahan secara keliru yaitu untuk memperoleh keturunan. Tujuan pernikahan sama sekali bukan untuk melanjutkan keturunan atau memperoleh anak. Kitab Kejadian 1:28 memang menyatakan, “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu” Teks ini menunjukkan bahwa Allah menciptakan kemungkinan agar manusia bisa berkembang biak (prokreasi). Prokreasi dicatat bukan sebagai tujuan pernikahan, melainkan sebagai kemungkinan yang Tuhan ciptakan untuk menjaga kelangsungan hidup. Pernikahan memang bukan bertujuan untuk melahirkan anak dan mempunyai anak. Jika dalam suatu pernikahan tidak mendapatkan keturununan, itu sama sekali bukan berarti pernikahan itu gagal. Baik pernikahan yang dikaruniai anak maupun yang tidak, di hadapan Tuhan merupakan pernikahan yang diberkati.
Bertumbuh bersama dalam sebuah pernikahan bukanlah hal yang instan atau dapat tercipta dalam satu hari saja. Bertumbuh bersama membutuhkan proses serta dilakukan sepanjang usia pernikahan. Hal itu tidak terjadi secara otomatis, tapi harus diupayakan bersama oleh dua pihak, baik oleh suami maupun oleh istri saja. Bertumbuh bersama dalam pernikahan dimaksudkan agar setiap pasangan yaitu suami dan istri dapat melayani Allah dan menjadi saluran berkat bagi bagi sesama. Jadi, melayani Allah dan menjadi saluran berkat bagi sesama adalah syarat yang harus dimiliki setiap pasangan untuk dapat bertumbuh bersama dalam pernikahan.
C. Yesus Kristus
sebagai Pusat Kehidupan Pernikahan
Kehidupan dalam pernikahan Kristen tidak dapat dipisahkan dari kehidupan di dalam Kristus. Yesus Kristus haruslah menjadi pusat setiap kehidupan pernikahan karena Yesus Kristus telah mewujudkan kasih Allah sepenuhnya kepada manusia. Hal ini berarti bahwa setiap pernikahan Kristen haruslah dikuasai oleh terang Kristus dan dipimpin oleh Roh Kudus. Dalam persekutuan dengan Kristus setiap pernikahan akan diteguhkan dan dikuatkan manakala berhadapan dengan berbagai tantangan dan pergumulan. Rasul Paulus dalam Efesus 5:22-33 menegaskan bahwa kasih Kristus adalah dasar hidup suami istri. Dengan demikian Kristus menduduki tempat yang utama atau sentral dalam pernikahan Kristen. Karena itu dalam rumah tangga Kristen, setiap suami-istri harus senantiasa menghadirkan Yesus Kristus dalam hidup pernikahannya. Rasul Paulus mengibaratkan pernikahan sebagai relasi antara Yesus Kristus dengan jemaat-Nya (Efesus 5:31). Paulus menggambarkan ada kesetiaan yang sungguh besar dari Sang Pengantin Laki-laki sehingga Ia mau mengorbankan nyawa-Nya bagi kehidupan Sang pengantin perempuan. Demikian halnya, cinta-kasih yang tanpa cacat diminta dari sang pengantin perempuan untuk kekasihnya itu. Hal ini mengisyaratkan bahwa kesetiaan satu terhadap yang lainnya tidak saja terwujud saat mereka berada dalam keadaan sejahtera, tetapi justru saat mereka mengalami hal-hal yang buruk. Di situlah kesetiaan sejati diuji. Pengorbanan Kristus haruslah menginspirasi setiap suami-istri dalam menjalin relasi. Penderitaan Kristus haruslah menjadi teladan bagi suami-istri untuk bersedia rela berkorban bagi pasangannya (1 Petrus 2:18-25).
Karena itu pernikahan harus diikat oleh kasih Yesus Kristus. Hubungan persekutuan dalam pernikahan yang hanya berpusat atau terarah pada kepentingan dan cita-cita pribadi dapat mengakibatkan kekecewaan, kebosanan, bahkan akan berjalan tanpa makna. Namun pernikahan yang didasari pada kasih Yesus Kristus akan mendapat jaminan yang kokoh.
D. Kasih sebagai
Dasar Hidup Berkeluarga
Tuhan menghendaki agar kasih menjiwai seluruh kehidupan manusia (Ulangan 6:5, Imamat 19:18, Matius 22:37-39, dan 1 Korintus 13), secara khusus dalam kehidupan pernikahan. Di mana ada kasih, diyakini disitu ada damai sejahtera. Pernikahan merupakan salah satu anugerah Tuhan yang besar untuk dapat menghayati kasih Tuhan. Kasih memegang peranan yang sangat penting dalam hubungan suami-istri. Dan kasih agape merupakan kasih yang dapat mengikat sebuah pernikahan untuk tetap bertahan sampai maut memisahkan. Pada suatu waktu, cepat atau lambat, hubungan suami-istri akan menghadapi masa-masa krisis bahkan mungkin menghadapi bahaya. Tidak ada pernikahan yang tidak menghadapi masalah atau pergumulan. Namun jika pernikahan dilandasari dengan kasih agape, sekuat apapun bahaya dan tantangan yang dihadapi pasti tetap kuat dan tegar. Agape adalah kasih yang mendorong seseorang untuk terus-menerus berbuat kepada dan demi kebaikan pihak lain. Kasih ini tidak akan berubah menjadi benci ketika kasihnya ditolak. Kasih semacam ini dilukiskan seperti: sungai yang terus menerus mengalir. Meskipun ditolak, aliran itu tidak akan berhenti atau berbalik, namun terus mengalir. Agape adalah kasih yang tidak mementingkan diri sendiri. Agape adalah kasih yang berdasarkan pada hormat dan pengetahuan yang dalam akan perintah-perintah Tuhan untuk manusia. Kasih agape berakar pada cinta Tuhan yang murni kepada manusia. Tuhan tidak mencari apa yang menyenangkan. Tuhan mencurahkan dan membagikan cinta-Nya tanpa syarat kepada orang-orang berdosa. Agape adalah cinta kepada seseorang yang tidak layak untuk dicintai. Cinta yang mengandung makna kemurahan dan belas kasih yang terdalam. Dalam sebuah pernikahan, kasih Agape Allah inilah yang dapat memperkokoh fondasi rumah tangga sehingga dapat kuat menahan terpaan angin dan badai kencang di tengah-tengah rumah tangga. Hanya kasih agape Allah yang dapat membebaskan setiap pasangan dari cinta yang hanya berpusat pada diri sendiri dan kepentingan diri sendiri, serta dari cinta yang egois. Dengan kasih agape relasi suami istri dapat saling mengampuni ketika menghadapi persoalan yang berat sekali pun. Karena kasih agape adalah kasih yang tidak menuntut balas, kasih yang sanggup memaafkan meski disakiti oleh pasangan. Kasih yang tidak mengenal batas. Hanya dengan saling mengampuni seorang akan yang lain, pernikahan akan rukun dan harmonis. Kasih agape inilah yang dapat mengikat dan melanggengkan sebuah pernikahan.
E. Keluarga
Bermisi
Setiap keluarga Kristen tanpa terkecuali diutus untuk melakukan misi yaitu mewartakan Kabar Baik kepada dunia dan lingkungan sekitarnya. Kabar baik tidak hanya diwartakan melalui kata-kata, namun yang utama adalah melalui perbuatan. Setiap keluarga dipanggil untuk melayani Allah dan menjadi saluran berkat bagi sesama melalui tindakan nyata dalam hidup setiap hari. Panggilan keluarga Kristen dapat dilihat dari tiga aspek yaitu keluarga, gereja, dan masyarakat.
1. Tugas Panggilan
dalam Keluarga
Pada zaman modern
masalah-masalah yang muncul dalam keluarga semakin kompleks. Misalnya masalah
pendidikan anak atau pergaulan, relasi suami-istri, orang tua-anak, suami dan
istri yang bekerja di luar rumah, dsb. Hal lainnya adalah relasi keluarga dalam
arti luas yaitu hubungan famili. Di tengah-tengah keluarga sendiri, Kabar Baik
harus terus
dihadirkan melalui keteladanan yang baik dari orangtua kepada anak-anak. Ada banyak cara yang dapat dilakukan. Hal utama dan pertama adalah mendidik keluarga (anak-anak) terus-menerus dan mengajarkannya berulang-ulang untuk mengasihi dan kepada Tuhan (Ulangan 6:5-7). Hal ini dapat dilatih dengan setia beribadah bersama di rumah, rajin berdoa, dan tekun membaca Alkitab. Contoh lainnya adalah menanamkan nilai-nilai Kristiani dalam keluarga dengan memupuk semangat gotong royong, membiasakan peduli dengan sesama anggota keluarga, saling menghormati, saling menolong, membiasakan sikap jujur, murah hati, dan mengasihi satu dengan yang lainnya. Mempraktikkan nilai-nilai Kristiani haruslah dimulai dalam keluarga sendiri. Tidak mungkin keluarga Kristen dapat mewartakan Kabar Baik di luar rumah, jika tidak mulai dari dalam rumah tangga sendiri. Dalam lingkup keluarga yang lebih luas, mewartakan Kabar Baik dapat dilakukan dengan memelihara hubungan antar keluarga besar agar kesatuan keluarga dapat dijaga. Hubungan harmonis dengan famili dapat dirawat dengan saling memperhatikan. Saling menopang atau membantu jika ada keluarga yang membutuhkan uluran tangan kita. Jangan pernah menahan berkat atau rejeki dengan keluarga besar yang membutuhkan. Jangan pernah pilih kasih atau membedakan ketika menolong atau membantu keluarga. Bantu dan topanglah baik keluarga suami maupun keluarga istri. Perlakukan dengan hal yang sama.
2. Tugas Panggilan
di Gereja
Pembentukan keluarga
Kristen tidak lepas dari kehidupan gereja (jemaat), dan tidak dapat dilepaskan
dari tugas panggilan gereja di tengah dunia. Setiap keluarga Kristen hadir
untuk melakukan pekerjaan Tuhan dan memelihara persekutuan di dalam gereja dengan
sesama anggota jemaat. Setiap keluarga Kristen harus terlibat dan aktif
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang ada di gereja. Tidak sedikit
keluarga Kristen ikut terlibat aktif hanya pada
saat membutuhkan pelayanan gereja, selanjutnya menjauhkan diri dari persekutuan. Ada juga yang masa bodoh dan tidak mau terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial di gereja. Kehidupan pasangan suami-istri yang bernama Priskila dan Akwila yang diceritakan dalam 1 Korintus 16, dapat dijadikan contoh sebagai keluarga Kristen yang bekerja dengan tekun untuk pelayanan gereja. Mereka mengajar, dan mengurus jemaat beserta keluarganya. Mereka berdoa untuk orang-orang yang belum mengenal Kristus. Mereka berbagi dengan orang lain. Mereka tidak sibuk dengan urusan pribadi keluarganya. Mereka tidak memikirkan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyak agar keluarganya menjadi semakin kaya. Mereka memberi diri untuk membangun kehidupan orang lain. Ada banyak cara yang dapat dilakukan keluarga Kristen dalam pelayanan di gereja. Misalnya memberikan dukungan dana, pikiran, tenaga, atau ikut terlibat aktif dalam kepanitiaan di gereja. Membuka pintu rumah untuk mereka yang membutuhkan. Memberi telinga untuk yang memiliki pergumulan. Mendoakan dan melawat mereka yang sakit. Menghibur mereka yang sedih dan berduka. Dan masih banyak contoh yang lainnya.
3. Tugas Panggilan
dalam Masyarakat
Hal lainnya dalam
bermisi, keluarga Kristen juga harus menempatkan diri dengan baik dan ikut
terlibat dalam tugas panggilan di tengah-tengah masyarakat. Keluarga Kristen
mempunyai kesempatan yang luas untuk melakukan kesaksian dan pelayanan sesuai
dengan tugas panggilan gereja yaitu persekutuan, kesaksian, dan pelayanan. Di
sinilah keluarga Kristen dapat berperan melakukan misi sebagai terang dan
garam, bahkan pembawa damai di tengah-tengah bangsa dan negara tercinta
Indonesia. Keluarga Kristen dipanggil untuk berpartisipasi dalam masyarakat
sebagai wujud tugas kesaksian. Masyarakat adalah kumpulan keluarga-keluarga.
Dalam masyarakat terjalin hubungan dan perjumpaan keluarga yang satu dengan
keluarga yang lain. Dan keluarga Kristen dipanggil untuk merawat kehidupan yang
rukun, damai, berlaku adil, dan peduli di tengah-tengah masyarakat. Ada banyak
hal yang dapat dilakukan oleh keluarga Kristen di tengah-tengah masyarakat.
Hidup rukun dengan tetangga yang berbeda. Ikut aktif dalam kegiatan sosial di
lingkungan sekitar. Bersahabat dengan semua orang walau berbeda keyakinan,
suku, atau pun budaya. Tidak bersikap eksklusif. Menjaga kerukunan beragama di
lingkungan sekitar tempat tinggal. Dan yang terakhis adalah merawat dan menjaga
kelestarian lingkungan alam pemberian Tuhan. Dengan mewartakan kabar baik di
tengah keluarga, gereja, dan masyarakat setiap keluarga Kristen telah
mengembangkan kehidupan bersama yang melayani Tuhan dan sesama. Keluarga yang
bermisi akan mendatangkan sukacita dan damai sejahtera.
[1] Disampaikan pada pelayanan bimbingan
pra-nikah atas nama REJEKI GULO dan ETI FEBRIANTI, Senin, 12 September 2022,
oleh Pendeta Jemaat BNKP Depok: Pdt. Ketetapan Nehe.
Posting Komentar