DEBU
DEBU
(KEJADIAN 2:7)
ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.
Setiap kali mendengar kata debu atau abu, apakah asosiasi pengertiannya di pikiran kita? Bisa macama-macam:
Pertama, kecil, ringan, mudah dipinggirkan, mudah diterbangkan angin, rapuh.
Kedua, debu juga dekat dengan barang-barang lapuk, tidak terawat, berada di antara puing-puing reruntuhan, atau kerusakan, terkesan dekat dengan sesuatu yang sudah lama, dan rusak.
Ketiga, debu atau abu, juga dekat maknanya dengan sisa dari sesuatu yang sudah hancur atau sudah habis terbakar, sudah habis, sehingga itulah yang tersisa abu atau debu.
Jadi, ada tiga asosiasi makna dari debu atau abu, yaitu rapu, rusak, dan habis.
Kitab Kejadian 2 melukiskan kejadian atau penciptaan manusia dalam asosiasinya dengan debu tanah. Dalam bahasa Ibrani disebut ADAMAH yang terbuat dari debu tanah. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan pada manusia melekat sifat-sifat debu.
Yang pertama, Sesungguhnya ciri-ciri debu ada pada kita. Bagaimana tidak, kita ini pada dasarnya memang ringkih, rapuh, mudah oleng, goyah, goncang atau menjadi lemah. Entah dihajar oleh kesukaran hidup, oleh serbuan kritik dan cercaan atau oleh usia serta penyakit.
Yang kedua, kita ini juga pada dasarnya bisa dan gampang rusak, aus dan jadi berubah, tidak lagi seperti semula, kacau. Badan bisa rusak, suasana hati bias kacau, daya juang bisa jadi merosot, hubungan-hubungan menjadi retak, dan seterusnya.
Lalu, yang ketiga, pada dasarnya kita ini juga bisa habis. Seberapa banyakpun yang kita miliki takkan abadi. Tenaga bisa habis semangat bisa habis bahkan pada akhirnya nafas pun bisa habis, ragapun habis, tersisa debu atau abu. Dari debu kembali menjadi debu, begitulah debu, yang bernama manusia, bukan?
Lalu, untuk apa ia ada? untuk apa debu ini diberi nafas hidup? Saya kembali dulu pada unsur debu. Disamping kerapuhannya, potensi kerusaknnya dan ujung jalannya pada ketiadaan atau habis. Adakah manfaat debu dalam kehidupan ini? Saya kira masih ada. Asalkan debu tidak berdiri sendiri di tangan kreatif manusia. Baik secara simbolis maupun secara fungsional debu atau abu masih berguna, masih memberi manfaat.
Secara simbolis, debu berguna dalam kehidupan peribadahan manusia. Dalam hidup ibadah kepada Tuhan, contohnya orang Israel pada zaman dahulu, kalau mengekspresikan keprihatinan atau kedukaannya, yaitu mereka melakukan ritual puasa yang disertai dengan cara menumpuk debu atau abu di atas kepala.
Orang Kristen pada masa kini mewarisi sebuah tradisi yaitu mengoleskan abu-abu berbentu salib pada dahi sebagai pertanda mulainya pekan pra paskah pada hari Rabu Abu. Secara simbolis debu hadir dalam dunia ibadah kita kepada Tuhan, sebagai pengingat yang sangat penting, pengingat akan kerapuhan, kerusakkan dan kefanaan kita sebagai manusia. Kita ini hidup semata-mata karena diberikan kehidupan oleh Tuhan, karena Tuhan Allah menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya (Kej. 2:7). Bahkan kerusakan-kerusakan kitapun diperbaharuinya hari-demi hari, dengan berkat makanan dan istrirahat.
Debu adalah pengingat simbolis yang sungguh penting. Pengingat bahwa kehidupan ini adalah karunia belaka. Datang dari Tuhan, kudus, berharga, layak dijalani dengan bijaksana, pantas diperjuangkan semaksimal mungkin, layak untuk disyukuri, dirayakan, dan dimaknai dengan keluhuran.
Selain secara simbolis, secara fungisional, bermanfaatkah debu? Para penggemar barang-barang antik, termasuk yang terbuat dari logam, tembaga, kuningan atau perak. Dan mereka akan selalu rutin membersihkannya dengan abu gosok, sampai mengkilat.
Dan juga pada zaman dahulu, sebenarnya awal mula sabun ditemukan itu berawal dari komposisi campuran antara abu dengan minyak zaitun, menjadi sabun pembersih. Jadi, abu yang lekat dengan asosiasi kotor ini, ternyata ditangan kreatif manusia malah menjadi alat pembersih, bermanfaat, begitulah sebenarnya debu yang bernama manusia.
Kita semua di tangan Tuhan Sang pencipta, bagaimana kita tidak menjadi bermanfaat? Pasti berguna. Memang jika terlepasa berdiri sendiri, jauh dari tangan Sang Pencipta kita ini cuma debu yang tak bermanfat, yang malah berpotensi mengotori sekeliling kita.
Namun, apa bila kita meletakan hidup kita ditangan Tuhan dan membiarkan Tuhan membentuk kita, maka seluruh yang ada pada kita, baik kekuatan, maupun kerapuhan kita, kelebihan maupun kekurangan kita akan dipakainya, menjadi alat, dan saluran berkat ditengah-tengah komunitas dimana berada. Yah, kita memang cuma debu. Namun, jadilah debu atau abu yang berada di Sang Pencipta.
Posting Komentar